
Perang Iran-Israel Ancam Industri RI: Biaya Naik, Ekspor Terancam, Energi Jadi Masalah
Penulis: Fityan
TVRINews – Jakarta
Pemerintah ingatkan industri manufaktur Indonesia untuk siaga hadapi lonjakan biaya logistik, krisis energi, dan gangguan pasokan akibat eskalasi konflik Timur Tengah.
Pemerintah melalui Menteri Perindustrian (Menperin) mengingatkan dunia usaha dalam negeri untuk bersiap menghadapi dampak luas dari konflik militer Iran-Israel yang terus memanas. Eskalasi ini bukan sekadar persoalan geopolitik, namun telah merembet ke jantung ekonomi global dan industri nasional tidak luput dari imbasnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa gejolak harga energi dan pangan akibat perang dapat memukul sektor manufaktur dalam negeri, terutama karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor energi dan bahan baku industri.
"Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara sangat rentan terhadap gangguan rantai pasok global dan volatilitas harga energi," ujar Agus dalam pernyataan resmi, Selasa (17/6/2025).
Biaya Logistik Melejit, Produksi Terhambat
Rute perdagangan strategis seperti Selat Hormuz dan Terusan Suez kini berada dalam ancaman. Gangguan pada jalur ini, menurut Agus, telah menyebabkan pengalihan rute pelayaran global hingga menambah waktu tempuh 10–15 hari dan memicu kenaikan biaya pengiriman kontainer hingga 200 persen.
Sektor otomotif dan elektronik dalam negeri yang 65 persen komponennya masih impor, kini menghadapi kelangkaan semikonduktor. Waktu tunggu yang bisa mencapai 26 minggu diperkirakan bisa mengurangi ekspor nasional hingga USD 500 juta.
Tekstil, Baja, dan Nikel Mulai Terkapar :
Industri tekstil dan alas kaki juga terdampak. Kenaikan ongkos logistik memaksa pelaku industri memangkas margin laba hingga 7 persen. Akibatnya, daya saing Indonesia melemah dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh.
Sementara itu, sektor nikel dan baja yang strategis bagi transisi energi global menghadapi lonjakan ongkos transportasi batu bara hingga 20 persen dan penundaan pengiriman 3–4 minggu. Total potensi kerugian ekspor mencapai USD 1,2 miliar.
Energi Jadi Titik Lemah :
Timur Tengah menyumbang hampir 30 persen produksi minyak global. Jika Iran yang memproduksi sekitar 3,2 juta barel per hari tidak bisa menyalurkan produksinya akibat konflik, maka harga minyak dunia bisa melonjak tajam.
"Harga minyak Brent sudah bergejolak di kisaran USD 73–92 per barel, dan potensi kenaikan 15–20% bisa terjadi tahun ini," kata Agus.
Kondisi ini, menurutnya, membuat efisiensi energi dalam industri menjadi kunci. Ia mendorong pelaku industri untuk mulai mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor dan memperluas penggunaan energi baru dan terbarukan.
Dorongan Hilirisasi dan Diversifikasi Energi :
Selain efisiensi energi, Agus juga menegaskan pentingnya hilirisasi produk agro sebagai respons atas inflasi global dan lonjakan harga pangan impor. Menurutnya, industri harus memperkuat kapasitas pengolahan hasil pertanian, perikanan, hingga kehutanan agar tidak terus bergantung pada bahan baku luar negeri.
“Logistik mahal, inflasi melonjak, nilai tukar tertekan—semua ini berujung pada kenaikan biaya produksi. Jawabannya ada pada hilirisasi dan energi domestik,” tutup Agus.
Editor: Redaktur TVRINews
