
Bunga Utang Pemerintah Capai Rp488 T, Sri Mulyani Janji Kelola dengan Hati-Hati
Penulis: Lidya Thalia.S
TVRINews, Jakarta
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmen pemerintah untuk terus mengelola utang negara secara hati-hati dan terukur. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI, yang membahas Tanggapan Pemerintah terhadap Pandangan Fraksi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan (P2) APBN Tahun Anggaran 2024, Selasa, 15 Juli 2025.
"Pemerintah akan terus memastikan bahwa profil utang dikelola secara prudent dan terukur. Kami juga terus memantau berbagai indikator yang mencerminkan kesehatan utang negara," ujar Sri Mulyani dalam keterangan yang dikutip, Rabu, 16 Juli 2025.
Sebelumnya, fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti peningkatan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 39,81% pada akhir 2024, naik dari 39,21% di tahun sebelumnya. Kenaikan ini dikhawatirkan akan menambah beban APBN tahun 2025, terutama dalam pembayaran bunga utang.
Tercatat, beban pembayaran bunga utang meningkat 11,04%, dari Rp439,88 triliun pada 2023 menjadi Rp488,43 triliun pada 2024. Kenaikan ini dikhawatirkan menyempitkan ruang fiskal, mengingat alokasi untuk bunga utang dapat mengurangi porsi anggaran untuk belanja publik dan kesejahteraan rakyat.
Menanggapi hal itu, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah memahami kekhawatiran fraksi terkait beban bunga utang. Ia menekankan bahwa pemerintah akan terus memantau risiko-risiko terkait utang, seperti suku bunga global, nilai tukar, serta potensi pembiayaan ulang (refinancing), agar tetap berada dalam batas aman.
"Risiko pembiayaan akan terus kami kelola secara terukur, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah," tegasnya.
Namun demikian, Sri Mulyani juga mengakui bahwa pendalaman pasar keuangan domestik, khususnya pasar uang dan obligasi, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Pemerintah disebut akan terus bersinergi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sektor industri keuangan untuk memperkuat instrumen pembiayaan nasional.
Total Kewajiban Pemerintah Capai Rp10.269 Triliun.
Dalam rapat sebelumnya pada 1 Juli 2025, Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa total kewajiban pemerintah hingga akhir 2024 mencapai Rp10.269 triliun. Nilai ini mencakup berbagai bentuk kewajiban, bukan hanya utang dalam arti sempit.
Kepala Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa kewajiban pemerintah memiliki cakupan lebih luas dibandingkan utang konvensional.
Kewajiban ini meliputi konsekuensi hukum dan administratif dari kegiatan pemerintah, baik dalam bentuk kontrak, peraturan, maupun tanggung jawab institusional.
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2023 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat, kewajiban negara terbagi menjadi dua jenis: jangka pendek dan jangka panjang.
Kewajiban jangka pendek mencakup kewajiban yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari 12 bulan, seperti pinjaman jangka pendek, gaji pegawai, kompensasi kepada masyarakat, dan iuran kepada lembaga internasional.
Sementara itu, kewajiban jangka panjang mencakup pinjaman luar negeri, surat utang negara, kewajiban pensiun, serta cicilan pengadaan barang dan jasa yang jatuh tempo lebih dari satu tahun.
PMK tersebut juga menegaskan bahwa kewajiban negara bersifat mengikat secara hukum, baik sebagai akibat dari kontrak formal maupun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah berkomitmen menjaga keberlanjutan fiskal dengan pengelolaan utang yang transparan, akuntabel, dan berbasis pada prinsip kehati-hatian, agar tidak mengganggu prioritas pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Editor: Redaktur TVRINews