
Foto: Menko Bid.Perekonomian RI
Penulis: Fityan
TVRINews, Jakarta
Tarik-Ulur Kedaulatan Ekonomi vs Tekanan Global: Saat Visa dan Mastercard Mengetuk Pintu Sistem Pembayaran RI
Di tengah dinamika perdagangan global yang kian kompetitif, satu isu menarik mencuat dari balik layar negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat. Bukan soal baja, tekstil, atau kedelai. Kali ini, yang jadi sorotan justru cara kita melakukan transaksi sehari-hari.
Dalam konferensi pers daring yang disiarkan kanal YouTube Perekonomian RI, Minggu (20/04/25), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap bahwa sistem pembayaran digital masuk dalam daftar perhatian utama Amerika Serikat dalam negosiasi bilateral.
"AS menyampaikan sejumlah masukan terkait sistem pembayaran Indonesia. Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia," ujar Airlangga.
Baca Juga: Visa Dicabut Diam-Diam, WNI Ditahan ICE di Rumah Sakit
Masukan yang dimaksud bukan sembarang masukan. Pemerintah AS disebut cukup intens melobi agar perusahaan-perusahaan besar mereka seperti Visa dan Mastercard bisa lebih leluasa masuk dan beroperasi di Indonesia.
Ketika “Kemudahan Transaksi” Jadi Isu Perdagangan
Amerika Serikat menyoroti regulasi sistem pembayaran nasional Indonesia—terutama keberadaan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS (Quick Response Indonesian Standard)—yang dianggap menjadi hambatan perdagangan.
Mereka memandang kewajiban transaksi domestik untuk melalui sistem switching lokal serta restu dari Bank Indonesia sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak perusahaan asing, khususnya raksasa teknologi keuangan asal Amerika.
Padahal, di mata Indonesia, GPN dan QRIS adalah pondasi kedaulatan ekonomi. Bukan sekadar soal transaksi, tapi tentang siapa yang memegang kendali atas data dan arsitektur keuangan nasional.
QRIS misalnya, telah terbukti mendorong inklusi keuangan dan memperluas akses digital bagi pelaku UMKM hingga ke pelosok desa. Tak hanya memudahkan transaksi, tapi juga memperkuat ekosistem ekonomi lokal.
Tawar-Menawar Digital di Meja Negosiasi
Isu sistem pembayaran ini rupanya menjadi salah satu poin strategis dalam pembahasan tarif resiprokal antara kedua negara. AS mendorong adanya kelonggaran, agar perusahaan mereka tak harus selalu bermitra dengan switching lokal yang telah mendapat izin dari BI.
Mereka berharap aturan tersebut dilonggarkan, dengan alasan agar masyarakat Indonesia tetap bisa mengakses layanan global dan beragam pilihan sistem pembayaran.
Namun di sisi lain, Indonesia tak ingin gegabah. Ada semangat besar untuk membangun sistem pembayaran nasional yang berdaya saing, berdaulat, dan inklusif.
Kedaulatan atau Ketergantungan?
Perdebatan ini sesungguhnya membuka pertanyaan mendalam: apakah kita siap menjaga ruang digital kita tetap merah-putih? Atau akan lebih nyaman dengan sistem biru-emas yang menawarkan kepraktisan namun mengurangi kontrol dalam negeri?
Bagi Indonesia, menjaga data transaksi tetap berada di tanah air bukan hanya perkara teknis. Ini soal strategi jangka panjang, menjaga ruang kedaulatan ekonomi dari dominasi kekuatan global.
Amerika Serikat mungkin melihat sistem pembayaran sebagai bagian dari pasar bebas. Tapi bagi Indonesia, ini adalah langkah menuju ekonomi yang berdikari di era digital.
Negosiasi masih berlangsung. Namun satu hal yang pasti, drama di balik transaksi digital ini jauh lebih besar dari sekadar gesekan bisnis. Ini tentang masa depan arsitektur keuangan nasional, dan siapa yang sebetulnya mengendalikan dompet digital kita.
Editor: Redaktur TVRINews
